Indonesianis Robert W. Hefner Apresiasi Kemenag Buat RUU PUB

By Admin

nusakini.com-- Director Institute on Culture, Religion, and World Affairs in the Pardee School of Global Studies Boston University, the United States of America yang juga seorang Indonesianis, Robert W. Hefner menyampaikan apresiasinya kepada Kementerian Agama Republik Indonesia atas upayanya membuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).

Perlindungan agama dan pengelolaan agama di Indonesia, menurut Hefner merupakan sebuah tugas yg penting. Indonesia sudah memberikan contoh, bukan hanya mayoritas muslim yang demokratis, tapi sebuah negara demokratis yang menjalankan hak-hak warga negaranya dengan baik. Bahkan Bisa memberikan pelajaran bagi negara-negara Barat, karena sejauh ini, seolah-olah mereka tidak perlu belajar dari negara lain. 

"Indonesia memberikan banyak pelajaran yang baik tentang demokrasi dan bagaimana menjaga dan merawat kerukunan beragama. Indonesia, jadi potret dan pelajaran bagi negara lain bagaimana mengelola pluralitas agama mereka sendiri," ujar Robert W. Hefner yang tampil menjadi narasumber kegiatan diskusi Pre-Simposium Internasional Kehidupan Keagamaan (International Symposium on Religious Life) di Jakarta, Selasa (4/10). Diksusi ini mengusung tema Definisi Agama di Indonesia Rekognisi, Proteksi dan Kepentingan Hukum. 

Kegiatan International Symposium on Religious Life sendiri akan digelar besok, Rabu (5/10/2016) dan dibuka resmi oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dengan menghadirkan sejumlah narasumber dan peserta dari sejumlah negara. Selain Robert W. Hefner, tampil sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta yang juga mantan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Kabalitbangdiklat Abdurrahman Masud dan Redaktur Majalah Gatra Asrori S Karni. 

Bahrul Hayat dalam kesempatan tersebut menegaskan bahwa, dalam RUU PUB ini yang dibutuhkan adalah keberanian mengambil pengertian agama dan atau kepercayaan. Ketika di regulasi, ujar Bahrul Hayat, mohon diletakkan tiga hal.

Pertama, para pakar memiliki definisi tentang agama, tentu saja ini konseptual dari para pakar. Kedua, dalam membuat definis dalam regulasi , tolong amati dan cermati dengarkan realita itu, realitas dimaksud, Bahrul hayat memberi ilustrasi masih adanya pandangan Konghucu sebagai agama atau budaya- dan Kemenag menyikapinya sebagai agama, karena sudah ada dalam undang-undang. 

"Jadi mohon nanti dalam membuat ketentuan yang pertama sulit dalam undang-undang ini adalah keberanian memadukan konsepsi (dari pakar, kajian, dan lainnya) dan realitas empiris yang akan disiapkan untuk diatur. Apakah nanti "mendampingkan dua hal" atau "menyatukan dua hal" dengan kepercayaan. Dan ini mohon sama-sama didudukkan, kalau tidak ini mungkin lama. Pasal lain, menurut Saya, relatif tidak sulit," tutur Bahrul. 

Catatan akhir paparannya, Bahrul Hayat mengatakan, begitu pengertian atau definisi (agama) dalam undang-undang di-agreement-kan, menurutnya, agreement ini penting, sebab nanti kalau tidak ada kesepakatan dalam bentuk regulasi, jangan juga jadi masyarakat ini bingung. Mengapa dikatakan akan bingung, bahrul Hayat menjelaskan, karena akan mudah di Indonesia ini, di Amerika ada, tapi tidka seperti di Indonesia,lahir berbagai hal tentang agama baru, dan ini harus dalam proteksi negara. 

"Oleh karenanya, pengertian tentang agama di awal itu bukan hanya menenangkan masyarakat yang benar-benar punya keyakinan agama dan kepercayaan, tapi memproteksi juga tindakan-tindakan yang di Indonesia marak, yang tidak rasional pun kok diterima, kan tidak rasional namanya, misal padepokan yang tidak rasional tapi diyakini masyarakat," ujar Bahrul. 

"Undang-undang ini nanti paling tidak melindungi masyarakat dari hal-hal yang justru, bukan hanya, kalau dia mempunyai keyakinan yang jelas dan harus diakui, tapi juga dari hal-hal yang tidak baik yang menimbulkan ketidakharmonian," ujar Bahrul. (p/ab)